Wednesday, May 8, 2013

KETRAMPILAN BERPIKIR KRITIS, CARA MENGAJARKAN DAN CARA MENGUKURNYA


Kemampuan berpikir kritis adalah satu dari bagian penting dalam segala aspek kehidupan seseorang. Berpikir kritis digunakan dalam berbagai situasi dan kesempatan dalam upaya memecahkan persoalan kehidupan. Oleh karena itu menjadi penting pula seseorang untuk belajar tentang bagaimana berpikir kritis, karena seseorang tidak serta merta mampu berpikir kritis tanpa melalui proses belajar. Berpikir kritis adalah sebuah ketrampilan yang didapatkan melalui proses, bukan merupakan sifat yang diwariskan orang tua kepada anaknya. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengajarkan tentang bagaimana berpikir kritis kepada siswa di sekolah sedini mungkin.

Definisi Berpikir Kritis
          Sebelum lebih jauh kita membahas bagaimana mengajarkan berpikir kritis kepada siswa, kita perlu tahu apa sebenarnya berpikir kritis itu. Beberapa ahli menyampaikan pendapatnya tentang definisi berpikir kritis, di antaranya seperti yang disampaikan oleh Achmad (2007) beberapa definisi dari para ahli antara lain Halpen, Angelo, Scriven, dan Ennis. Halpen (1996) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah memberdayakan ketrampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Pendapat serupa disampaikan oleh Anggelo (1995), menurut beliau berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Scriven (2001) berpendapat berpikir kritis adalah proses intelektual yang aktif dan penuh dengan ketrampilan dalam membuat pengertian atau Konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi. Sedangkan Ennis (1985) mendefinisikan berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.

Dari semua yang telah disampaikan oleh para ahli di atas dapat kita lihat adanya ciri-ciri dari seseorang telah memiliki kemampuan berpikir kritis. Wade (dalam Achmad, 2007) mengidentifikasi delapan ciri seseorang telah berpikir kritis, antara lain: merumuskan pertanyaan, membatasi masalah, menguji data, menganalisis berbagai pendapat, menghindari pertimbangan yang sangat emosional, menghindari penyederhanaan berlebihan, mempertimbangkan berbagai interprestasi, dan mentoleransi ambiguitas. Seorang yang berpikir kritis mempunyai sikap terbuka dan mudah untuk menerima adanya perbedaan. Ia juga sangat teliti dalam segala hal, dan mempunyai standar baku dalam menilai sesuatu. Argumen yang disampaikan selalu didasari oleh data-data yang akurat. Dan dia mampu membuat kesimpulan dengan tepat dari beberapa pernyataan yang ada. Satu lagi, seorang yang berpikir kritis selalu memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Mengapa Harus Mengajarkan Ketrampilan Berpikir Kritis kepada Siswa?
Wibowo (2010) menyatakan bahwa kadang orang awam, bahkan guru masih terkagum-kagum dengan banyaknya informasi yang bisa diungkap seseorang. Penghargaan terhadap hal tersebut sangat tinggi, bahkan seseorang bisa masuk museum rekor dengan hanya hafal nama presiden, nomor telepon dalam buku telepon, dan lain-lain. Artinya apa? Bukan berarti kemampuan menghafal seperti itu tidak berguna. Tapi dapatkah seseorang bisa “bertahan hidup” hanya dengan bekal hafalan?
Seperti telah disampaikan di atas bahwa berpikir kritis merupakan bagian penting dari aspek kehidupan seseorang, termasuk siswa. Sebagai ilustrasi, sangatlah mudah untuk mengajarkan kepada siswa tentang sebuah informasi, misalkan definisi dari fotosintesis. Guru  juga lebih mudah untuk mengevaluasinya, cukup dengan membuat soal seputar definisi fotosintesis. Dan bagi siswa bahkan tidak merasa perlu untuk memahami fotosintesis tetapi cukup menghafal definisi yang diberikan oleh guru. Pertanyaannya, apakah itu berguna bagi siswa di luar sekolah? Apa yang didapat siswa sebagai bekal kehidupan saat siswa telah lulus nanti?Jawabannya tentu saja tidak ada yang berguna bagi siswa di dalam kehidupannya kecuali hanya sedikit saja. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma mengajar dari hanya memberikan informasi menjadi mengajarkan cara mencari informasi dan mempergunakannya untuk hal-hal lain yang bermanfaat.
Kendala dalam Mengajarkan Ketrampilan Berpikir Kritis.

          Kendala yang umum dialami dalam mengajarkan ketrampilan berpikir kritis lebih banyak datang dari kultur pembelajaran di negeri kita. Misalnya pembelajaran yang masih berpusat pada guru, guru masih menjadi segalanya di dalam kelas. Guru malas untuk merancang sebuah kegiatan pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk mengaktualisasi dirinya.
Kendala yang lain adalah pada sistem penilaian, suatu yang klasik tapi sulit untuk dipecahkan. Selama ini penilaian lebih banyak ke arah kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa baru dikatakan berhasil jika siswa lulus dari ujian dan mendapat nilai bagus. Sampai saat ini masalah ini masih menjadi polemik dan belum ada penyelesaian yang baik.

          Lepas dari macam kendala di atas, kondisi siswa walaupun kadang menjadi kendali tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak mengajarkan ketrampilan berpikir kritis pada siswa. Justru inilah tantangan yang harus dipecahkan oleh guru, terutama mereka yang bertugas di sekolah-sekolah “pinggiran”.

Mengajarkan Ketrampilan Berpikir Kritis

Untuk mengajarkan ketrampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan berbagai metode. Terutama metode yang sifatnya memberi keleluasaan siswa untuk mengeksplorasi diri misalnya metode eksperimen, metode diskusi, dan metode karya wisata. Model pembelajaran yang digunakan juga dapat divariasikan dari model-model pembelajaran yang ada. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa apapun metode dan model yang digunakan pengajaran ketrampilan berfikir kritis ini harus sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, jika tidak maka tidak akan banyak manfaatnya bagi diri siswa.

Sutrisno (2010) menyebutkan ada empat komponen yang harus ada dalam suatu pembelajaran suatu ketrampilan termasuk ketrampilan berpikir kritis, yaitu: identifikasi komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas.

Penjelasannya sebagai berikut:
          Identifikasi komponen-komponen prosedural. Pada tahapan ini siswa dikenalkan pada ketrampilan dan langkah khusus yang diperlukan dalam ketrampilan tersebut. Dalam pembelajaran misalnya dengan memberikan petunjuk praktikum, aturan diskusi, petunjuk pelaksanaan proyek.

          Instruksi dan pemodelan langsung. Pada tahap ini guru memberikan instruksi dan pemodelan langsung. Instruksi dan pemodelan memberikan gambaran singkat tentang ketrampilan berpikir kritis yang harus dikuasai siswa.
Latihan terbimbing. Latihan terbimbing memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan ketrampilannya dengan bimbingan guru. Guru harus mendorong siswa untuk menggunakan ketrampilannya secara berulang-ulang dan terus-menerus.
Latihan bebas. Latihan bebas harus dirancang oleh guru agar siswa dapat melatih ketrampilannya secara mandiri, misalnya dengan penugasan atau proyek. Jika tiga tahap pertama telah dilaksanakan secara efektif, diharapkan siswa akan mampu menjalankan tugas atau proyek ini dalam kisaran 95% sampai 100%.

Bagaimana mengukur ketrampilan berpikir kritis
          Untuk mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran maka perlu melakukan pengukuran (evaluasi) terhadap pembelajaran tersebut. Pengukuran sebaiknya dilakukan bukan hanya pada hasilnya tapi juga pada prosesnya. Untuk ketrampilan berpikir kritis penilaian proses mutlak diperlukan. Lalu bagaimana caranya? Apa saja yang perlu diukur. Douglas dan Nancy (dalam Rahmat, 2010) menyatakan bahwayang mendasari pengembangan kemampuan siswa adalah kecakapan berpikir kritis sebagai ketrampilan tertinggi dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu dibuat instrumen yang berurusan dengan kedua fokus tersebut.

Rahmat (2010) merekomendasikan dua macam dasar yang bisa digunakan untuk menyusun instrumen ketrampilan berpikir kritis yaitu Taksonomi Bloom dan Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving). Taksonomi Bloom yang memuat level berpikir meliputi: ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi tepat untuk mengintegrasikan pengembangan kemampuan berpikir kritis dan penguasaan ilmu pengetahuan. Sedangkan Pendekatan Pemecahan Masalah dapat dirumuskan dalam beberapa variabel berikut: tujuan, kata kunci permasalahan, menyikapi masalah, sudut pandang, informasi, konsep, asumsi, alternatif pemecahan masalah, interprestasi, dan implikasi.
Penutup

          Dari apa yang telah dibahas di atas dapat kita simpulkan bahwa pengajaran ketrampilan berpikir kritis mutlak diperlukan untuk membekali siswa dalam menempuh kehidupannya. Jadi bisa dikatakan guru akan menanggung dosa jika kelak siswa mengalami kesengsaraan karena tidak pernah diajarkan padanya tentang ketrampilan berpikir kritis.

Daftar Rujukan:
Achmad, Arief. 2007.Memahami Berpikir Kritis. (Online), (http://re-searchengines.com /1007arief3.html), diakses 24 Mei 2011
Rahmat.2010. Pengukuran Ketrampilan Berpikir Kritis. (Online), (http://gurupembaharu.com /home/?p=3462) diakses 18 Mei 2011.
Sutrisno, Joko. 2010. Menggunakan Ketrampilan Berpikir untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran. (Online), (http://www.scribd.com/doc/54977805/artikel-erlangga) diakses 18 Mei 2011.
Wibowo, S. Agung. 2010. Dilema Mengajarkan Isi atau Cara Berpikir. (Online), (http://agung1971.wordpress.com/2010/03/29/dilema-mengajar-isi-atau-cara-berpikir/)


No comments:

Post a Comment